Bapak

Mbaca posting ini http://khsblog.net/2016/04/27/titip-rindu-buat-ayah/ saya jadi ikutan kangen Almarhum Bapak…. Manusia yang konyolnya kami (saya + si kecil) warisi. Bapak yang kadang pake sandal jepit kala kondangan manten, atau berhenti dan membuka dompet di tengah jalan saat ada razia polisi yang dengan berbagai dalih minta duit. Padahal saat itu Bapak mbonceng Ibu, yang mana Ibu adalah keluarga Bhayangkara, dan Ibu cuman diam senyam-senyum saja.

Bapak, manusia pertama yang ngajari saya gimana mbersihkan busi, ngisi radiator, dan ngecek oli.

Sosok yang mencontohkan saya gimana ngecek tekanan ban dan harus mengelilingi mobil -memastikan semua fungsi kendaraan normal- sebelum berkendara.

Sosok yang membiarkan saya “ngebut”, tapi langsung galak kalo saya melanggar rambu lalu-lintas atau membahayakan orang lain.

Manusia yang mengajarkan saya wajib tau teori dan praktiknya. “Kalo cuman tau teori, kamu pembual namanya. Tapi kalo cuman praktik tanpa tau teorinya, kasihan hidupmu Nak… Kamu hanya akan mengerjakan sesuatu tanpa kamu tau, tanpa pengetahuan…”

***

Bapak, sering mengalah untuk kepentingan orang lain. Hidupnya ndhak bergelimang harta sama sekali, tapi malah membuka lapangan pekerjaan untuk tetangga kiri-kanan.

Pensiun dari perusahaan tambang, bapak kembali bertani dan jualan beras. Beras di-ayak, yang bagus dijual dengan harga lebih tinggi, yang jelek/pecah-pecah/menir, diselep jadi tepung beras. Tetangga kerja di sini: mengemas tepung kering dalam kantong-kantong kemasannya.

Bapak, yang sering saya sebelin karena ngajak saya narik/ngangkat/mbawa diesel dari sawah jam 2 sampe jam 4 dini hari karena lep (ngairi) sawah kami udah cukup. Dalam hati, kenapa ndhak ntar nunggu siang aja siy Pak?

Belakangan saya paham kenapa: kalo siang panas banget, dan mending semua segera diselesaikan sebelum kita tertahan oleh kelelahan nan amat sangat. Berhari-hari siang-malam jaga air di sawah ternyata menguras energi pun mental.

Setelah saya berkeluarga, baru saya sadari apa artinya itu semua: tangguh menjadi laki-laki! Berani menerjang tantangan demi kebaikan. Bukan cuman kebaikan diri sendiri, melainkan kebaikan semuanya tanpa terkecuali, tanpa pandang bulu.

Kini setiap kami menatap sawah peninggalan Bapak, saya hanya bisa tercekat. Bapak turut menumbuhkan sesuatu, bukan sekedar untuk menghidupi kami. Lebih dari itu, Bapak turut serta menghidupi dunia.

Makanya setiap kali ada sawah berubah jadi rumah, nangis hati saya, tanpa pernah bisa berbuat apa-apa. Tak pernah adakah solusinya: rumah bisa didirikan untuk melindungi jutaan keluarga Indonesia dari panas dan hujan, tanpa harus menggerus sawah – sumber makanan dan kehidupan kita bersama, kita semua?

Saya tak pernah sanggup menjawabnya…

***

Bapaklah, yang membuat kami sekeluarga paham apa itu dedikasi. Beliau pantang pulang sebelum kerjaan kelar. Siang-malam, jangan meninggalkan di tengah jalan pekerjaan yang kondisinya harus diselesaikan. Beberapa jenis pekerjaan, membuat kita mengulang dari awal jika tidak terus kita hingga selesai/kita tinggalkan di tengah jalan.

Bapak, manusia pertama yang ngajari saya tentang kualitas. Beli peralatan kerja ndhak boleh barang ecek-ecek. Karena: untuk kerja! Untuk menghasilkan, untuk produktivitas. Barang ecek-ecek ternyata justru membuang uang tanpa ada manfaat dan untungnya, benefit dan profitnya. Dari Bapak akhirnya saya paham, membeli barang bagus bukan berarti atau belom tentu kita punya uang. Melainkan karena kita perlu menghasilkan uang!

Bapak, temennya tersebar merata di mana-mana. Baik areanya, nyaris di setiap tempat yang saya singgahi, semua kenal Bapak. Padahal Bapak itu sama sekali bukan siapa-siapa. Dia bukan anggota dewan, pejabat pemerintah, apalagi kyai yang punya santri. Sesungguh-sungguhnya dan sebenar-benarnya, Bapak bukan siapa-siapa.

Maupun kalangannya, Bapak hanya manusia yang mau berteman dengan siapa saja: tukang becak, tukang mabok, polisi, kyai, guru, professor, petani, pemilik warung, PNS, loper koran, kuli bangunan, semuanya. Bapak bisa ngopi dan duduk bersama dengan mereka semua. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Bukan berdiri beda tinggi dan duduk beda rendah. Inilah kekayaan hakikinya selain keluarga yang Bapak miliki: temennya bejibun ndhak karuan banyaknya dan luasnya.

Dari bapak saya mendapati fakta nyata: seburuk apapun tabiat dan kelakuan orang lain, kalo kita baiki, niscaya mereka juga baik sama kita.

Bapak itu orangnya keras, tapi sungguh baik hatinya. Ndhak tegaan dan ringan tangan – suka menolong kalo liat orang lain susah atau menderita hidupnya, padahal apa yang dikasihkan kadang adalah sesuatu yang sedang kami butuhkan. Mulianya khas warok Ponorogo, dari mana darahnya berasal.

Satu hal terpenting yang akan saya pegang sepanjang hidup saya: Bapak pula yang mengajarkan kami bisa memegang prinsip dalam keberagaman. Bukan memegang prinsip dan meninggalkan keberagaman.

***

Ya Allah, berikan tempat terbaik dan ampunan-Mu untuk Bapak yang telah mendidikku, mendidik kami anak-anaknya…

Berikan tempat terbaik dan ampunan-Mu kepada semua bapak, semua ibu, semua orang tua di dunia dengan berbagai keadaan dan kesalahan yang pernah mereka perbuat, sesungguhnya mereka hanya hidup untuk anak-anaknya semata, untuk melanjutkan generasi dan penggenerasian dunia.

Al Fatehah…

– FHW,
kangen Bapak, kangen prinsip hidup Bapak.

Keterangan foto: si kecil Aleef Rahman Hadiwiyono bin Freema Hadi Widiasena bin Somo Hadiwiyono bin Makun.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.