Menghargai Diri Sendiri

Saya pernah ‘menasihati’ (sombong banget kesanya: menasihati) si Mas, seorang pelaku wirausaha jasa. Meskipun dalam pekerjaannya dia tidak murni menjual jasa (tenaga, waktu, dan pikiran) namun juga ada barang yang disertakan, namun konteks pekerjaannya tetap dikategorikan sebagai penjual jasa. Intinya adalah: bagaimana/seberapa pantas kita harus menjual jasa kita?

(Sengaja di sini tidak saya sebutkan detail pekerjaannya, karea khawatir akan melebar membahas standarisasi pada jenis pekerjaan tersebut.)

Sudah menjadi kelumrahan, tarif jasa itu super relatif. Jenis pekerjaan yang sama persis, dengan beban kerja yang dianggap sama persis, waktu pengerjaan yang sama persis, dan peralatan kerja yang sama persis, bahkan di lokasi yang nilai investasi atau harga sewa lokasinya sama persis, dll. yang dianggap sama persis bisa menghasilkan harga jasa yang berbeda.

Kenapa? Karena upah jasa sesugguhnya adalah bagaimana kita menilai diri sendiri.

Ini berbeda dengan profit-taking pada kondisi kita menjual barang. Setidaknya kita masih bisa membayangkan kita mau ngambil profit-margin berapa (persen) dari harga kulakan barang. Maka banyak-sedikitnya pendapatan, akan ditentukan seberapa banyak kita bisa menjual barang. Sederhananya demikian.

(Hampir) sepuluh tahun silam saat saya memutuskan berhenti jadi karyawan dan mencoba mengadu nasib dengan berwirausaha sebagai penjual jasa: penjual ide eceran di Awindo Creative berkongsi dengan rekan akrab, kami juga bingung setiap kali menentukan berapa menilai jasa kami.

Dengan jam kerja? Dari kerumitan kerja? Ini relatif… Mendesain sebuah brosur warung makan misalnya, kadang menghabiskan jam kerja lebih banyak ketimbang membuat poster dari korporasi gedhe. Ndhak bener rasanya bagi kami jika menghitung ongkos kerja sepenuhnya dari jam kerja atau kerumitan desain, karena (maaf) klien kecil kadang memerlukan perancangan material komunikasi lebih rumit ketimbang klien gedhe, namun aneh aja rasanya kalo kemudian kami nge-charge klien kecil itu jauh lebih mahal ketimbang korporasi gedhe.

Akhirnya, harga yang ada tetaplah relatif: sepantasnya. Menurut jam kerja yang kami habiskan, menurut depresiasi perangkat dan perlatan kerja yang kami gunakan, menurut pulsa dan listrik serta bensin yang kami habiskan, ditambah harga subyektif atas ide yang kami tuangkan.

Dengan kata lain; pertimbangannya super kompleks, kontekstual, dan sangat tidak bisa berlaku umum/generik.

Seperti kisah si Mas yang sedang saya hadapi ini.

“Yang lain biasa menjual paket ginian 600-800rb Mas… Saya menjual cukup 200rb saja. Soale persaingan di sini ketat. Kalo ndhak banting harga gini, susah dapat pelanggan…” Curhat dia.

“Tapi Mas, kalo cuman banting-bantingan harga saja, efeknya banyak ndhak benernya ketimbang benernya. Nafas kita jadi pendek: kita akan kekurangan cadangan modal untuk beragam keperluan, katakanlah perangkat dan peralatan kerja, yang itu kita kembalikan/mendukung pelayanan kita buat kustomer.

Trus lagi, kalo mau ambil sedikit untung, jatuhnya kita terdorong untuk berbuat curang.

Memasang harga relatif terlalu tinggi memang akan mengurangi daya saing kita di pasar. Jatuhnya, kustomer akan lari. Tapi kalo terlalu rendah kita menghargai diri sendiri, kita juga akan mati pelan-pelan dan susah mengsustainabilitas usaha kita.

Ambilah jalan tengahnya. Pasang harga jasa kita yang tidak terlalu tinggi tapi layak untuk membuat nafas kita berjala panjang, berjalan terus.

Asal pelayanan kita sungguh-sungguh dan ikhlas, asal kita jujur mengerjakan sesuatu: karena banyak hal, kesibukan, keribetan, perjuangan, dll. di belakang layar yang klien tak pernah tau dan yang ini merupakan bagian dari kejujuran proses kerja – maklum biasanya klien hanya menilai hasilnya belaka tanpa pernah peduli proses kerja kita, wong kita dibayar untuk menyodorkan hasil bukan proses koq; Insha Allah proses itu akan menghasilkan sesuatu yang nampak dan memuaskan.

Tapi ini bukan berarti kita tak punya tantangan lho… Sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali pasti kepeleset juga. Sejagoan-jagoannya kita di bidang kita, sesekali pasti pernah bikin kesalahan pada klien. Asal ndhak terus-terusan, ndhak apa-apa. Itu sebagai pengingat agar kita terus belajar.

Namun bukan berarti pernahnya kita kepelset lantas mendorong kita untuk sungkan ngasih harga diri… maksudnya, sungkan menetapkan harga jual jasa kita ke kustomer secara ‘pas’. Tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.

Sekali lagi, kita harus bisa menghargai diri sendiri justru agar kita punya nafas panjang untuk terus melayani kustomer.

Kalo misalnya di sana mereka pasang harga 600-800rb, Mas jangan latah pasang harga 200rb. Kasihan ntar kalo alat kerja rusak sementara harga segitu belom break-even-point ke investasi perangkat dan peralatan kerja kita.

Yaaa… gampangnya kata, pasanglah harga 400-500rb namun dengan pelayanan yang penuh totalitas. Yang intinya: jangan pernah menyerah untuk melayani kustomer…” Demikian saya panjang lebar ‘menasihati’nya.

Si Mas manggut-manggut mendengarkan petuah saya.

“Meski harga jual Mas naik dari 200rb, asal pelayanan konsisten, ndhak-ndhak kalo kustomer hilang. Yakin aja Mas, yang jual murah terus-terusan, nafasnya mungkin ndhak bisa panjang.

Saya pernah koq kehilangan klien, karena kompetitor yang pasang harga murah. Namun belakangan klien balik lagi ke saya, karena nafas kompetitor sudah ndhak kuat, dan terpaksa mereka menaikkan harga dalam waktu yang sangat cepat. Ini bikin klien jadi merasa aneh!” Lanjut saya.

Si Mas kembali manggut-manggut mendengarkan petuah saya.

Kemudian pas saya order kerjaan ke dia untuk jenis kerjaan yang barusan kami bahas, “Jadi berapa saya harus bayar ke Mas untuk kerjaan ini?”

“500rb!” Jawab dia setelah mendengarkan petuah saya.

Sepertinya, mungkin, saya menjadi kustomer pertama yang dia kasih ‘harga tengah’ setelah saya menasihati agar tidak menjual jasanya dengan harga 200rb lagi tapi juga jangan menjual 600rb – 800rb sebagaimana pelaku usaha serupa lainnya. Makanya dia kemudian mematok harga 500rb. 😀

4 tanggapan untuk “Menghargai Diri Sendiri

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.