ctrl+enter

Saya masih menemukan, beberapa kali jika gk bisa dibilang sering, orang bikin page-break dengan menekan enter buuuanyakkk kali hingga ke halaman berikutnya; alih-alih dengan “ctrl+enter”.

Dan barusan yg saya dapati adalah sebuah dokumen dari pemerintah.

Pentingkah hal demikian untuk diperhatikan?

Bagi mereka mungkin tidak. Dan bagi banyak orang juga tidak. Bagi Indonesia mungkin juga tidak. Selama pekerjaan bisa selesai sesuai dengan tugas yg dihadapi. Selama halaman bisa ter-break sesuai dengan isi yang harus diketikkan.

Cuman kalo kita mau jujur mengakui, dari sini sebenarnya menunjukkan, rendahnya tingkat efektivitas kerja & kinerja SDM yg melakukannya.

Bayangkan untuk mem-break halaman harus menekan enter buanyakkk kali, meski waktunya mungkin cuman dalam hitungan detik, tapi ini adalah proses pekerjaan yg berulang-ulang dan sangat membuang waktu. Proses yg panjang dan tidak ringkas.

Belom lagi kalo ada perubahan isi atau perubahan layout, bisa-bisa ntar ngeditnya dari awal halanan hingga akhir halaman.

Iya kalo cuman 10 halaman. Kalo ratusan halaman, gimana coba?

Padahal hanya dengan ctrl+enter, itu cuman satu proses: cring, jadi!

Dan ketika ada satu halaman diedit, halaman yang sebelum atau sesudah ter-break tidak akan terganggu posisinya.

“Yaaa… kan gk semua orang ngerti dan bisa!”

Baiklah. Tapi ini sebenarnya ilmu yang sangat dasar di dunia ketik-mengetik.

Ini mirip seperti pengetahuan tentang perlu (baca: wajib)nya kita menyalakan sein kendaraan saat berbelok, sekalipun belok kiri.

Kita tetap bisa berbelok (kiri) meski sein tak kita nyalakan. Motor tidak akan macet, laju tak akan terhenti.

Beda dengan jika tanki tak kita isi bahan bakar atau kampas rem habis tak kita ganti., Itu efeknya direct.

Lampu sein? Itu mirip ctrl+enter.

Tak ada efek direct. Tapi ini efek mentalitas (kita bicara sisi teknis dan psikologis dulu, terlepas dari sisi hukum kewajiban hukum menyalakan sein dalam hal ini).

Kita semua tau kan apa bedanya sesiapa yang menyalakan sein saat belok (kiri) dengan yang tidak?

Mungkin seperti itulah bedanya yang menekan ctrl+enter sekali dengan puluhan enter berkali-kali.

“Yaaa… satu kasus ini kan bukan berarti semua aparat pemerintah seperti itu.”

Betul banget. Tapi benerkah ini cuman oknum atau aparat minoritas?

Mudah-mudahan memang demikian: ini hanya oknum dan aparat minoritas.

Bukan sebagaimana persepsi kotor yg selama ini bercokol di otak saya: yg kinerja efektif dan efisien, yg skill-nya mumpuni, yg pelayanannya profesional itulah yg oknum dan minoritas.

Mudah-mudahan itu tadi.

***

INI baru masalah halaman. Belum masalah lain yang lebih banyak, lebih kompleks, dan berdampak luas dan besar.

Alhasil, macam kasus eKTP kemarin sampe bisa sebegitunya: antri berbulan-bulan, masyarakat menghabiskan waktu dan tenaga untuk sesuai yang sama sekali tak produktif. Yang mending dibuat tidur ketimbang kepanasan di balai kecamatan atau apalah nama tempatnya.

Sementara di sana-sini, bank bisa menerbitkan jutaan kartu ATM yang lebih canggih dalam waktu yang sedemikian singkat.

Itu baru satu contoh yang kelihatan.

KALO di pelayanan swasta, kita tinggal ganti provider/produsen jika adalah hal yang tidak memuaskan.

Kalo pelayanan pemerintah tidak memuaskan, mau ganti dan pindah ke mana coba? Sementara kita sudah mati-matian mencintai negeri ini dan mati-matian ingin memajukannya sekuat tenaga. Syangnya, gate utama niatan ini, yakni pemerintah, sama sekali jauh panggang dari api, jauh pelayanan pemerintah dari pelayanan swasta.

Wahai pemerintah, gk usah banyak kampanye menghabiskan anggaran untuk koar-koar bahwa Anda semakin baik melayani rakyat.

Simpan anggaran yg mungkin milyaran itu untuk sesuatu yg riil dan nyata.

Pemerintah ndhak dituntut menghasilkan laba. Karena itu gk usah bikin promosi pencitraan.

Baiknya bikinlah kerja nyata dalam senyap, dengan hanya satu hasil dan parameter saja: tak ada layanan swasta manapun yg bisa mengalahkan efektif dan efisiennya layanan pemerintahan.

Itu saja sudah cukup.

Regards,
– FHW,
hanyalah sesosok rakyat abal-abal tanpa skill atawa kemampuan mumpuni. Mangkanya ndhak cocok jadi aparatur pemerintahan.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.