Fotografi Seluler


– Buah maja yang… wow, seksi sekaleee! *Slurp!*

Sebenarnya tepatnya fotografi ponsel – telepon seluler. Tadi i(h)seng-aja bikin judulnya πŸ˜›

Kami tidak ingin menjelentrehkan tentang hal-hal teknis tentang fotografi seluler di sini. Banyak buku dan tulisan yang sudah membahas tentang hal-hal teknisnya. Kami hanya ingin berbagi semangat di sini, bahwa fotografi seluler itu juga mengasyikkan!

Mungkin kita bertanya, gimana mau bikin foto bagus tanpa kamera SLR? Sebagus-bagusnya kamera & fotografi ponsel, tetep kalahlah dengan fotografi dengan gear asli buat fotografi, gear mahal…

Mungkin iya. Biar bagaimana, ponsel yang sedemikian slim – kecil – ringkas bentuknya tentu tidak dijejali perangkat sebagaimana kamera besar. Entah poket, prosumer, apalagi DSLR.

yang paling kentara, ukuran sensornya beda. Sensor kamera ponsel kecil bingit ukurannya. Ibarat kata seperempat kuku kelingking kita. Sementara sensor kamera poket lebih gedhe lagi, anggaplah separuh kuku kita. Kamera SLR lebih gedhe lagi. Anggaplah sebidang kuku jempol kita.

Karena SLR pro lebih gedhe lagi, setara film 35mm (diagonalnya segitu ukurannya).

Pakem dasarnya, semakin gedhe sensor akan semakin bagus dia nangkap cahaya. Warnanya lebih tajam dan kaya (vibrant). Apalagi jika ukuran per-pixel sensornya gedhe. Gambar akan lebih ciamik berganda.

Belom lagi masalah kemampuan kamera ponsel, khususnya untuk autofocusing. Secepat-cepatnya auto-focus pada kamera ponsel, rasanya tetaplah tak pernah bisa secepat kemampuan auto-fokus pada kamera besar.

Ini bukan keterbatasan, melainkan penyesuaian. Yang perlu kita antisipasi: mungkin kamera seluler akan lemah untuk berbicara tentang foto peristiwa. Sesuatu yang berlangsung cepat dan seolah kita tiada punya persiapan untuk mengkapturasinya.

Karena itu, fokuskan latihan dan pengenalan kita menggunakan (kamera) ponsel untuk foto momentual. Foto di mana ada waktu untuk mempersiapkan segalanya: pointing, compositing, atau sekedar menggunakan efk yang -bukan kita sukai belaka- melainkan dipertimbangkan bisa menunjang isi cerita si foto yang kita buat.

SELEMAH-lemahnya iman…eh, maksud saya selemah-lemahnya kemampuan kamera ponsel, apalagi kamera ponsel -maaf- yang kelas pasaran, kamera ponsel masih/juga punya pengemar tersendiri.

Setidaknya, pada ponsel dengan harga setara DSLR standar dengan lensa kit yg ‘ndhak bisa ngapa-ngapain kecuali kreativitas kita berbicara’, dengan rupiah senominal kamera tersebut kita sudah bisa membarter ponsel canggih dengan fitur juragan bergaya bos berkelas atas.

Pun, meski kalah dalam hal fisik/hardware, kamera ponsel menebusnya dengan berbagai fitur yang khas dan difokuskan ke penggunaan social-photography. Atau juga bisa menggunakan aplikai pihak ketiga yang membantu kita membuat aksentual unik-unik untuk foto yang dijepret dengan kamera ponsel.

Beragam efek dan opsi editing (penyuntingan) disematkan langsung. Alhasil, jepretan biasa bisa menjadi penuh warna, berjejal aksentual, kaya kisah, dan banyak cerita.

Akhirnya, batas dari semua fasilitas yang ada tinggal kreativitas kita.

Kamera poket/besar boleh datang dengan lensa segudang. kamera ponsel boleh hadir dengan fitur super melimpah. Tapi ada satu hal yang secanggih apapun sebuah alat, mata kita manusia inilah yang akan lebih menentukan berbicaranya sebuah gambar: komposisi.

Bahasa sederhana dalam komposisi adalah bagaimana kita ‘mengatur dan meletakan gambar’ dalam bingkai tembakan kamera kita.

Obyek ada yang bisa kita atur/kita letak-letakkan, namun ada obyek yang memang “mati” pada tempatnya. Untuk obyek mati, kitalah yang menyesuaikan diri mengatur komposisi.

Obyek bidikan kita bisa sendirian, bisa beberapa obyek. Kreativitas kita ‘mengatur’-nya secara imajiner sehinga ia akan terletak ‘di mana’ nantinya dalam bingkai foto adalah tools terbaik komposisi.

Inilah yang tidak bisa ditentukan dan diputuskan oleh kamera apapun.

So, keterbatasan sebuah kamera akan menimbulkan kreativitas lebih luas, lebih lebar, dan lebih wawas pada mata kita untuk mengolah, mengatur, dan menentukan komposisi.

Baik kamera SLR, kamera poket, maupun kamera ponsel memiliki derajat kreativitas komposisi -yang saya yakini- sama dan sederajat. Hanya bentuk eksplorasinya yang berbeda.

Komposisi memang akan ditunjang dengan kualitas (bukaan) lensa, pencahayaan, dll. Kamera canggih dan mahal dengan lensa mihil menghasilkan kompisi dan hasil foto luar biasa,

itu justru “biasa” dibandingkan dengan kamera ponsel yang apa adanya semuanya (kualitas lensanya, kualitas sensornya, kualitas flash-nya) yang bisa kita gunakan untuk menterjemahkan komposisi luar biasa dari mata kita.

Lensa (ponsel berkualitas) “jelek” pun bisa juga kita gunakan untuk foto artistik dengan nuansa tertentu. Misal gambarnya yang kurang tajam atau saturasinya yang kurang tajam serta tone-nya yang kurang vibrant mungkin bisa kita manfaatkan untuk mengambil foto yang bernuansa surealis atau lain sebagainya.

Semua tergantung kita. Batasan dan keterbatasan (teknis) tentu lucu jika malah kita terjang dan kita langgar. Misal kita memaksa sensor kualitas/resolusi rendah untuk menghasilkan gambar tajam.

Namun batasan teknis bukan berarti mematikan kreativitas. Kadang keterbatasan itu justr akan memacu dan memicu kreativitas kita muncul lebih deras.

Pada kondisi apapun, kreativitas hanyalah langit batasnya. Bahasa Sunda-nya: semua tergantung man behind the gun.

Freema HW
– Sumpeh saya bukan fotografer!!!

Gambar-gambar di tulisan ini blas ndhak ada keren-kerennya dalam sudut pandang fotografi. Apalag sampe membelajari tentang komposisi. Ini cuman gambar buat test kamera ponsel aja.

Semua gamabr di tulisan ini diambil menggunakan ponsel Motorola Droid Razr XT910 dengan lensa 8 megapixel bukaan rana f/2. Hanya diresize serta sedikiiit di-adjust level saja (nyaris tidak terlalu berbeda).

Tentang ponsel Motorola Droid Razr XT910 ini bisa dicermati di sini http://www.phonearena.com/phones/compare/Samsung-Galaxy-S-III,Motorola-DROID-RAZR,Samsung-Galaxy-S-II/phones/6330,6026,5106

Tentang komposisi monggo simak dimari http://tipsfotografi.net/memahami-komposisi-dan-elemen-penting-dalam-fotografi.html

Kopi yang saya nikmati di sebuah warung. Ditambah sebungkus kecil kacang goreng, total DC (damage-cost) 2,5rb saja! Gambar masih diambil dengan Motorola Droid Razr XT910.


– Yang ini sedikit saya edit dengan aplikasi manipulasi citra. Saturasinya saya turunkan, kecuali bunga merah pada tatakan gelas.

5 tanggapan untuk “Fotografi Seluler

    1. Kalo (hasil) foto bener-bener merupakan sesuatu yg diharapkan, mending prosumer sekalian.

      Secanggih-canggihnya hape, kalo udah berbicara tentang foto(grafi), rasanya masih tetep belom bisa mengalahkan kamera, perangkat yg memang diciptakan untuk kebutuhan tersebut. πŸ™‚

      Suka

      1. portability! lagipula semuanya tetap bernama “kamera”, who care kalo hasilnya terlihat bagus, cuman memang biasanya kalo pake dslr/prosumer yg mirip dslr harga diri yang megang naik drastis hehehe

        Suka

      2. Well… mungkin kita bisa (turut) menjalurkan tentang definisi bagus:

        dari mungkin bagus itu adlah gambar yg penuh efek, gambar yg kaya warna, gambar yg bokeh,

        menjadi: gambar yg berbicara.

        Jika seperti ini, maka gadget hanyalah alat yg berada di bawah kekuasaan kita, bukan kita yg (galau) karena dikuasai gadget.

        Mungkin demikian πŸ™‚

        Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.